Oleh: Seikhu Ahmad
Sebelum musim Corona menyerang negeri +62 banyak orang berangan-angan dan mengira di tahun 2020 keberuntungannya akan memuncak. Kalau kata orang pesisir mah “along”. Bakal menang banyak kita. Untung besar deh.
Saya salah satu di antaranya, jauh berencana ini-itu, mudah-mudahan tahun ini “along”. Ternyata bukannya sekarang, malah hasilnya minimal. Yah, Alhamdulillah-nya penghasilan masih rata-rata cukup buat makan sehari-hari.
Istilah “along” ini kerap disematkan kepada orang nelayan yang hasil tangkapan ikannya melimpah. Biasanya “along” ini tidak terlepas dari “ngemiyang” atau “miang”. Yah itu tadi, artinya nelayan yang lagi melaut cari ikan.
Along ini soal nasib dan mujur-mujuran. Kalo inget masa kecil dulu, saat main “gondu” atau “preca” (kelereng), saya kalau main kalah mulu, jarang menangnya. Itu sebabnya pas ketika saya berencana mau ikutan ngemiyang, sudah dilarang duluan oleh mertua. Ah.. kaya tidak nyambung yah.
Maksudnya ‘gini, yang jelas “along” ini memang mahal sekali, seperti menemukan harta karun saja. Tapi yah, dimana-mana kalau sudah ahlinya dan berkompeten pasti “along” lah. Apalagi didukung modal dan keberanian.
Saya juga kurang mengerti, kenapa baru belakangan mengenal kedua istilah ini, sebab di masa kanak-kanak, saya hampir tidak mendengar dua kata ini. Maklum sejak kecil hidup jauh dari masyarakat pesisir. Yah kadang kala kalau jalan-jalan sih, pernah ke pantai.
Setelah hampir sepuluh tahun saya berumah tangga, di daerah pesisir antara Pulo Cangkir Kronjo – Tanjung Kait Mauk, barulah saya tercengang, “oh…Mang Piyan’e lagi ngemiyang, menai beh along”. Begitu kira-kira kata orang kampung kalau sedang dicari tapi tidak ada di rumahnya.
Tapi setelah betul-betul covid-19 ini merangsek ke pelosok kampung, penyebutan “along” ini seolah lenyap bersama hilangnya mata-pencaharian karena terdampak corona.
Maklum semenjak berdirinya PLTU 3 Banten, konon katanya pemuda di situ sudah ogah “ngemiyang” lagi, sekarang itu bagaimana jadi karyawan atau sekuriti PLTU bisa lebih “along”, apalagi kalau bisa berangkat ke Arab (jadi TKW/TKI) bisa kebikin rumah atau bahkan cukup kawin lagi.
Tapi bener juga sih, saya iseng-iseng dari rumah berangkat atau kalau lagi lewat pulang kerja, suka menghitung kendaraan roda empat yang parkir di rumah warga, saya hitung-hitung hampir sekitar 70-an mobil, padahal jalan lingkungannya hanya bisa dilewati muat satu mobil. Belum kalau kendaraan roda dua sudah parkir berjejer sembarangan di pinggir jalan. Bikin macetnya bikin lidah nyebut naudzubillah…
Kenapa saya iseng menghitung jumlah mobil. Sebab, awal-awal saya datang ke desa ini, masih terasa senyap dari keramaian lalu lalang mobil dan motor. Ibarat kata nih, bisa dihitung dengan jari. Dari sini, saya menduga masyarakat pesisir nasibnya banyak yang along, lebih-lebib sudah ada berdiri PLTU, pasti soal kesejahteraan sudah akrab.