Eva Janadin dan Anne Sophie Monsinay, Dua Perempuan Pemimpin Sholat Jumat Tanpa Perbedaan Gender.

Eva Janadin dan Anne Sophie Monsinay, Dua Perempuan Pemimpin Sholat Jumat Tanpa Perbedaan Gender.

BANTENICA.ID- Sepuluh tahun lalu, dua perempuan Perancis yakni Eva Janadin dan Anne Sophie Monsinay resmi memeluk Islam. Setiap satu bulan sekali, mereka menyewa kamar di Paris untuk memimpin sholat. Mereka dan laki-laki secara berdampingan di atas sajadah dengan prinsip tanpa perbedaan. Dua perempuan ini juga menyampaikan khotbah, peristiwa atau momen ini belum pernah terjadi sebelumnya untuk ibadah di Perancis. Kisah pertama mereka didengarkan oleh enam puluh orang yang duduk di lima baris karpet biru, coklat dan oranye secara berdampingan dalam ibadah sholat Jumat. Khotbah ini dilakukan dalam bahasa Perancis dan diterjemahkan secara sistematis. Uniknya disini beberapa orang memakai kerudung, namun dua imam perempuan itu tidak memakainya tapi ini tidak menjadi pembeda. Mulai dari takbir, sujud salam dan ungkapan memuji Tuhan yang dituturkan oleh mereka berdua tidak pernah dibantah oleh para jemaahnya tadi. Tantangan sulit yang sedang mereka upayakan ialah menemukan tempat permanen untuk ibadah Sholat Jumat. Mengingat mereka telah ditolak sebanyak empat puluh kali untuk menyewa tempat untuk ibadah. Akhirnya mereka telah mengumpulkan beerapa ribu euro dari anggota, pendukung  dan donor untuk bisa menyewa kamar Paris, sebulan sekali untuk sholat jumat. Mereka bertekad tempat ini harus berubah permanen dan dikelola oleh perempuan. Mereka akan menamai tempat ibadah ini dengan Masjid Simorgh, yang terinspirasi burung mitologis dalam puisi sufi.

Mereka berdua berangkat menuju tindakan konkret dari visi mereka tentang Islam yakni “spiritual, progresif dan tercerahkan yang diilhami oleh tasawuf, sebuah ilmu mistik dari Islam. Juga mendorong untuk introspeksi toleransi tidak senang dengan adanya pemisahan tradisonal laki-laki dan perempuan. Mereka yakin banyak muslim dan tentunya muslim memiliki kebutuhan prioritas untuk emansipasi  dan pembebasan. Itu merupakan mungkin untuk mengembangkan model alternatif untuk melawan Islamisme dan konservatisme. Banyak publik yang menyambut hangat maksud baik dari mereka berdua, misal seorang Mustapha Chaqri menilai bahwa momen seperti ini melambangkan kembali Islam yang asli. Menurutnya “Islam tidak membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan”. Mereka menambahkan bahwa tidak ada dalam teks-teks agama Islam yang bertentangan dengan imamah perempuan. Hanya saja kontruksi telah menagabadikan bahwa imam harus seorang laki-laki.

Dalam perjalanan mereka ikut mendirikan VIE (Suara Islam yang Tercerahkan) dan bekerja sama dengan Fondapol (Fondasi untuk inovasi politik) yang menerima dana untuk dapat berkhotbah setiap sebulan sekali dan mengupayakan tempat ibadah permanen mereka. Gagasan ini adalah untuk mengukur permintaan bentuk Islam yang inklusif  yang menurut Janadin “mendamaikan iman dengan akal dan pemikiran kritis”. Mereka juga mengatakan bahwa “Kami membantu me bangun Perancis yang disesuaikan dengan apa yang telah dicapai oleh modernitas”.

Gagasan-gagasan mulia tadi sempat mendapat tantangan dari Dewan Kebudayaan Muslim di Perancis (CFCM) yang didirikan oleh Nicolas Sarkozy. Abdallah Zekri dari organisasi itu menentang imam perempuan dan ibadah-ibadah campuran di masjid-msjid. Ia menyatakan  bahwa “Jika ada seorang wanita di depan anda di masjid dan di belakang bokong mereka, anda berlutut saat sholat, itu tidak terlalu estetis. Agama-agama itu telah beberapa abad dan tidak dapat dimodifikasi dari satu hari ke hari lainnya”. Janadin menilai tanggapan seperti ini  merupakan kekuatan patriarki yang sangat keras dan kita sangat perlu menyebarkan paham yang inklusif untuk Islam yang inklusif.

Semua tulisan ini bersumber dari blog VIE dan Fondapol.

Oleh: Rivani (Kader Perempuan Ciputat)

Tinggalkan Balasan