BANTENICA.ID – Menelisik sejarah tak hanya bisa kita dapatkan dengan membaca literatur dari buku-buku non fiksi saja, karena bagi saya banyak penulis-penulis yang juga menceritakan peristiwa yang dialaminya dalam kemasan fiksi atau novel. Diantaranya ialah novel karya sastrawan kerkemuka Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Sekali Peristiwa Di Banten Selatan”.
Pada novel ini Pram menceritakan hasil “reportase” singkatnya di wilayah Banten Selatan dengan kekayaan alamnya yang melimpah dan subur, namun rentan akan penjarahan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Darul Islam. Latar dari novel ini ialah hasil pengamatannya pada akhir tahun 1957.
Pada mulanya Pram menggambarkan panorama geografis Banten Selatan yang masih sangat asri dan perawan, dengan tanah yang kaya akan pegunungan dan tanah yang subur, namun belum sepenuhnya digarap dan dimanfaatkan secara peradaban. Akan tetapi berbanding dengan kehidupan masyarakatnya yang menderita akan kemiskinan. Latar novel ini terjadi di masa-masa Indonesia masih belia, dimana pemberontakan-pemberontakan oleh kelompok-kelompok terjadi, salah satunya Darul Islam (DI).
Dalam novel ini Pram mengambil penokohan seorang pemuda bernama Ranta yang hidup dalam belenggu kemiskinan. Ia tinggal dengan bininya bernama Ireng di gubug kecilnya. Ranta menafkahi bininya dengan mengerjakan apapun, termasuk maling. Kegiatan maling-memaling ini didapatkannya dari Juragan Musa dengan paksaannya. Seorang bertubuh gempal dengan tongkat ditangan dan peci hitam.
Juragan Musa biasa memperalat masyarakat desa untuk melakukan pencurian ke gudang-gudang milik ondernaming. Begitupun yang dialami oleh Ranta, ia dipaksa mencuri bibit karet olehnya. Pekerjaan ini Ranta lakukan karena dua hal, yang pertama juragan Musa menyuruhnya dengan paksaan berikut ancaman dan yang kedua karena ia butuh uang, tak hanya untuk makan tapi juga untuk membayar pengobatan anaknya yang di rawat di rumah sakit. Pencurian bibit karet berhasil dilakukan oleh Ranta, bahkan sampai berhasil bolak-balik dan mendapatkan beberapa karung bibit karet. Kewajibannya terselesaikan, tinggal haknya yang belum ia dapatkan, disaat ranta meminta haknya namun yang ia dapatkan malah penyiksaan, badannya bagaikan samsak oleh anak buah Juragan Musa. Alhasil Ranta pulang ke rumah hanya membawa luka lebam dan badan yang hampir remuk. Rantai bagaikan semut hitam yang walaupun kecil dan hitam, tapi di saat ia merasa sangat disakiti dan terus tertekan akan menggit siapapun yang menyakitinya.
Suatu Ketika Juragan Musa berjalan melewati gubug milik Ranta dan menghampirinya, tidak seperti biasanya Ranta tidak mengumpat malah sebaliknya ia tampakan keberaniannya yang berapi-api, meski luka ditubuhnya belum pulih. Bagi Ranta mau dipukuli bagaimana pun tubuhnya sudah mati rasa, karena kesakitan ialah teman hidupnya, kalau tidak daging yang sakit yah hati, kesakitan melulu kata Ranta. Sikap Ranta ini tidak diduga-duga oleh Juragan Musa, biasanya juragan musa langsung memelototi Ranta atau membentaknya, tapi ini kebalikannya. Seorang Juragan Musa lari tunggang-langgang seperti orang mau diterkam oleh singa yang sangat lapar. Ranta pun merasa sangat puas, karena bisa membuat Juragan Musa yang kejam dan licik itu lari terbirit-birit. Tapi satu sisi Ranta tahu, bahwa setelah ini yang akan ia hadapi ialah ketakutan, ketakutan akan pembalas dendaman juragan Musa padanya.
Ia pun segera mengemasi barang-barangnya, tanpa diduga tongkat dan tas Juragan Musa tertinggal di gubugnya, ia pun segera membungkusnya tanpa memegang dan membukanya. Ranta dengan ditemani oleh beberapa penduduk desa berinisiatif membawa tas tersebut pada komandan OKD. Ketakutan Ranta pun terwujud, rumahnya habis dibakar oleh anak buah Juragan Musa, namun satu sisi yang sangat mencengangkan ialah bukti keterlibatan Juragan Musa sebagai dedengkot Darul Islam di wilayah tersebut, bukti ini didapatkan dari temuan data-data yang ada di dalam tas Juragan Musa yang dibuka langsung oleh Komandan OKD. Ini menjadi satu langkah nasib baik bagi Ranta.
Selanjutnya yang terjadi ialah awal kerja sama antara Ranta dan komandan OKD untuk menumbangkan dan membasmi DI di kampungnya. Juragan Musa beserta anak buahnya pun berhasil diringkus oleh Komandan dan prajuritnya. Beberapa kali pertempuran pun terjadi anatara Darul Islam dengan penduduk desa, kemenangan mutlak pun selalu didapatkan penduduk desa. Setelah semua itu berhasil, Ranta pun diangkat menjadi Lurah di desa tersebut oleh komandan OKD. Satu sisi Ranta senang bukan main, namun di lain sisi pun ia takut akan pembalas dendaman kelompok Darul Islam padanya. Ada satu perkataan Ranta yang menjadi benang merah atau kunci dari novel ini yakni.
“Di mana-mana aku selalu dengar: yang benar juga akhirnya yang menang, itu benar; Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar”.
Sosok Ranta yang sangat visioner dan seperti oratur ulung berhasil menyadarkan masyarakat untuk gotong royong Bersatu menjaga desanya. Kerja sama antara pemerintah desa dan apparat pun terjalin begitu harmonisnya dalam satu tujuan membuat rakyatnya nyaman dan sejahtera. Singkatnya beberapa ancaman dari Darul Islam pun berhasil diselesaikan Bersama, bahkan sampai pada urusan menggarap lahan dan pembuatan waduk sekali pun.
Jika diamati unsur intrinsiknya, novel ini memiliki alur maju. Sesuai dengan judulnya, novel ini memang menceritakan “sekali peristiwa”. Ceritanya dimulai dengan kesengsaraan rakyat, persatuan rakyat, perjuangan rakyat, kemudian kemenangan dan berakhir damai. Bagian orientasi, pemunculan konflik, klimaks, dan antiklimaksnya terlihat sangat jelas dan rapi. Walau euphoria klimaks pada novel ini sampai pada terselesaikannya penderitaan rakyat yang dilakukan oleh Juragan Musa dan juga Darul Islam. Namun andai kita bisa mengambil intisari dan hikmah dari “Sekali peristiwa di Banten Selatan” ini sangatlah banyak. Mulai dari keberanian Ranta yang bangkit dari penindasan yang ia alami, maupun konsep gotong royong antar masyarakat dan aparat setempat. Gotong royong kekutaan tanpa melukai dan menakut-nakutkan. Jelas di masa ini kita butuh sosok seperti Lurah Ranta yang berpikiran maju dan jelas mementingkan kemaslahatan Bersama, begitu pun dengan sosok Komandan OKD yang tak malu-malu dan membusungkan dada untuk membantu dan bekerja sama dengan rakyat. Dan satu lagi, bagi para pembaca yang sudah menghatamkan novel ini pasti tahu bahwa Ranta menjadi lurah tanpa modal uang sepeserpun, jangankan berpikir uang, gubug yang menjadi banda satu-satunya saja habis dibakar oleh DI.
Oleh : Ahmadi