BANTENICA.ID– Bicara perempuan hebat Indonesia, kita hanya mungkin mengenal Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien dan Christina Martha Tiahahu. Dalam sejarah Indonesia tercatat banyak nama muslimah yang konon berjuang mengusir penjajah. Salah satunya ialah Malahayati. Malahayati merupakan putri Laksamana Mahmud Syah, cucu seorang laksamana Angkatan Laut Kerajaan Aceh, Muhammad Said Syah. Malahayati lahir pada tahun 1560 saat Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahar memimpin kerajaaan Aceh yang berlangsung dari 1537 hingga 1568. Sejak kecil Malahayati telah dididik agar selalu patuh pada perintah agama. Saat usia enam tahun Malahayati telah memulai belajar baca tulis al-Qur’an dengan bantuan kedua orang tuanya. Kemudian pada usia delapan tahun, Malahayati belajar ilmu agama dengan seorang bernama Tengku Jamaludin Lam Kra, ulama sekaligus pemimpin pesantren putri di Banda Aceh. Dua tahun kemudian, Malahayati meneruskan pendidikannya di Dayah Inong (Madrasah Banat). Disana beliau mulai memperdalam ilmu fiqih, akidah, akhlak dan bahasa Arab. Selain itu Malahayati juga belajar bahasa asing di rumah seperti bahasa Perancis, Inggris, Spanyol bahkan bahasa Melayu.
Malahayati sering diajak ayahnya ke pelabuhan melihat-lihat kapal dagang dan kapal perang milik kerajaan Aceh. Bahkan beliau juga sering menyaksikan latihan perang-perangandi laut yang dilakukan oleh kapal-kapal perang Aceh. Dari pengalaman inilah menjadi jembatan Malahayati menjadi laksamana yang sangat disegani dan dikagumi tidak hanya kerajaan Aceh, namun juga oleh Banten. Pada 1575 ayah Malahayati meninggal dalam sebuah Perang kerajaan Aceh bersama armada Banten yang dipimpin oleh Pangeran Arya bin Maulana Hasanuddin terhadap Portugis di Malaka. Gugurnya sanga ayah dalam perang ini membuat Malahayati sangat terpukul dan banyak mengeluh. Ia sering mengatakan “Ah mengapa aku lahir sebagai seorang perempuan”. Andai saja aku laki-laki, tentu dengan mudah aku bisa menjadi laksamana dan menuntut balas atas kepergian ayah. Tengku Ismail Indrapuri menasehatinya “Malahayati, di hadapan AllahSWT, manusia laki-laki dan perempuan itu sama saja karena kedua-duanya memikul amanah-Nya di bumi ini”. Kata-kata penguatan inilah yang akhirnya mendorong semangat Malahayati dan kemudian bersumpah bahwa kelak apabila dewasa akan berjuang melawan penjajah. Akhirnya Malahayati menjadi keberanian hingga berhasil mengusir Portugis.
Berikut bukti kehebatan Malahayati.
- Menjadi panglima armada Aceh.
Pada usia 17 tahun, Malahayati menikah dengan Laksamana Muda Ibrahim seorang Panglima Armada V Kerajaan Aceh. Suatu hari Malahayati ikut bertugas bersama sang suami yang berpangkalan di Pulau Rupat. Di perjalanan tugas itu dilakukan patroli melayari perairan Pulau Alang Besar dan berpapasan dengan dua kapal kecil pembawa rempah-rempah dari Banten yang tiba-tiba dihadang oleh perahu Portugis. Mereka dipaksa menyerahkan rempah-rempah tersebut dan banyak korban yang tewas dan luka-luka. Laksamana Muda Ibrahim bersamaMalahayati mengatur strategi dan memberiaba-aba untuk menyerang Portugis. Akhirnya enam armada Portugis berhasil dilumpuhkan, namun terjadi pertumpahan darah terhadap laksamana Muda Ibrahim. Kematiansuaminya sama sekali tak diperbolehkan diberitahu kepada awak kapal. Malahayati melanjutkan perjuangan menumpas kapal Portugis. Akhirnya di pihak Aceh, satu kapal ditenggelamkan, dua kapal mengalami kerusakan. Rempah-rempah yang berhasil diselamatkan diserahkan kembali kepada pedagang Banten.
Keberhasilan ini menjadikan Malahayati diangkat menjadi Panglima Armada V kerajaan Aceh dengan pangkat Laksamana Muda.
- Karirnya di medan tempur berawal dari pasukan “Inong Bale” (janda-janda yang telah mati syahid)
Malahayati menjadi pemimpin armada laut dengan 2000 orang Inong Bale, berjuang dan berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 11 September 1599
- Negosiator Ulung.
Ulungnya seorang Malahayati dibuktikan ketika menemui utusan Maurits van Oranje dan melakukan negosiasi. Beliau berhasil membuat pasukan Belanda untuk melakukan gencatan senjata dan membayar ganti rugi 50 juta golden sebagai kompensasi perampokan kapal rempah-rempah Aceh.
- Tegas dan tanpa kompromi
Pada 1600, terjadi perampokan dan penenggelaman kapal berisi rempah-rempah oleh angkatan laut Belanda yang dipimpin oleh Paulus van Carden. Setelah kejadian ini Laksamana Malahayati menangkap Admiral Jacob van Neck saat berlayar di perairan Aceh. Maurits van Oranje Bicker dan Gerard de Roy dengan membawa surat permohonan maaf untuk Kesultanan Aceh.
- Berjuang atas nama sendiri
Meski berasal dari keluarga bangsawan, Malahayati tidak lantas memanfaatkan hal tersebut untuk memperoleh status sosial dengan mudah. Gelar ataupun reputasi sebagai seorang Laksamana beliau dapatkan dengan langsung terlibat dalam urusan negara dan peperangan. Para tentara dan jenderal menghargai dan menghormatinya dikarenakan Malahayati membuktikan kehebatan dirinya dengan Komandan Perang.
- Ahli Kenegaraan
Laksamana Malahayati selain ahli mengatur siasat dalam bertempur juga seorang ahli kenegaraan. Ia menguasai bahasa Inggris, Perancis, Belanda dan juga bahasa Spanyol. Oleh karena itulah Sultan Aceh mengangkatnya sebagai pejabat yang mengurus perutusan-perutusan baik di dalam negeri maupun yang keluar negeri. Berkenaan dengan tugas itulah, maka jika ada utusan dari negeri lain yang datang ke Aceh, maka sebelum menghadap Sultan Aceh utusan itu harus terlebih dahulu menemui Malahayati. Sultan Aceh bahkan sering meminta pendapat Malahayati sebelum mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan hubungan negeri lain.
Oleh: Rivani (Aktivis Perempuan Ciputat)