Bantenica.id – Menelusuri dan berdiskusi tentang jejak sejarah di Tangerang tampaknya takkan pernah ada habisnya, sebagai salah satu daerah yang memilki nilai historis yang cukup tinggi, Tangerang memang masih banyak misteri sejarah yang belum terungkap.
Dahulunya Tangerang sebagai wilayah yang berbatasan langsung antara kekuasaan kolonial belanda dengan kesultanan Banten. Menurut literatur dalam buku “Melacak asal muasal kampung di Kota Tangerang” karya Burhanuddin (2018) nama Tangerang berasal dari kata “Tangger” dalam bahasa sunda memiliki arti “tanda”. Kata Tangger tersebut merupakan tanda batas kekuasaan kesultanan Banten pada abad 17 dengan kekuasaan Hindia Belanda. Ada juga yang mengatakan penamaan Tangerang berasal dari kata “Tanggeran” bermakna (tanda) yang berada di pesisir sungai cisadane, pendapat lainnya yang tak kalah kuatnya bahwa nama pertama Tangerang yakni “Perang” karena pada masa kekuasaan Hindia Belanda wilayah ini sering menjadi medan tempur peperangan antara kesultanan banten dengan pihak Hindia Belanda. Namun literatur yang cukup kuat yakni “Tanggeran”. Karena para Londo-londo yang menempati wilayah ini tidak bisa mengucapkan huruf “N” maka terucaplah kata “Tanggerang”.
Penyebutan nama Tangerang kemudian diresmikan pada masa pendudukan Jepang oleh Kentyo M. Atik pada 27 Desember 1943. Tanggal tersebut menjadi hari lahir Kabupaten Tangerang dan dikukuhkan dalam peraturan daerah nomor 18 tahun 1984.
Sampai saat ini nama yang sangat familiar di telinga kita ialah Pendekar Cisadane, Sampai nama ini pun menjadi nama maskot team sepakbola kebanggaan masyarakat Tangerang yakni Persita. Walau pada akhirnya diubah juga maskot tersebut menjadi Ayam Wareng.
Selain Pendekar Cisadane ada sebaris nama pahlawan-pahlawan yang juga menggoreskan tinta emas dalam historis wilayah ini.
Pahlawan tersebut ialah Pangeran Arya Wangsakara, seorang pejuang kemerdekaan sekalugus penyebar agama Islam yang cukup masyhur. Menapaki tempat peristirahatan terakhirnya yang bertempat di jalan Lengkong kyai kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, kita seperti disuguhkan pada kebesaran Namanya dimasa lampau, sebuah pekarangan pemakaman yang cukup luas dengan monumen berlambang Garuda menambah gagah tempat ini.
Arya Wangsakara sendiri ialah keturunan dari Sumedang, tepatnya Sumedang larang dari Pangeran Lemah Berem atau Sultan Ali. Arya Wangsakara tak hanya terkenal di kesultanan Banten saja, tapi juga dibeberapa wilayah lainnya, dengan penamaan atau penyebutannya yang berbeda, untuk di Sumedang sendiri ia terkenal sebagai Arya Wiraraja dua sedangkan untuk wilayah Madura dan Yogyakarta ia dipanggil pangeran Narantaka atau Kiai Narantaka. Informasi ini didapatkan dari hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat yakni Habib Syaifullah atau Habib Gosong yang juga masih memiliki silsilah keturunan dengan Arya Wangsakara.
Untuk kedatangannya pertama kali ke Tangerang ia diutus oleh kesultanan Banten pada saat itu Bersama dengan dua saudaranya yakni Suryadiwangsa dan Arya Santika, pada akhirnya terkenal dengan sebutan “Tigaraksa”. Diutusnya ketiga serangkai ini tak lain untuk mempertahankan Benteng atau perbatasan wilayah kesultanan Banten yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Agung Tirtayasa dari serangan dan kekuasaan pihak Kolonial Belanda. Selain itu ada juga literatur yang menerangkan bahwa kedatangan tiga serangkai tersebut disebabkan karena ketidak sepemahaman mereka dengan kerajaan Sumedang.
Saat pertama kali kedatangannya di Tangerang, ia memutuskan untuk singgah sejenak di pesisir sungai Cisadane, berbekal restu dari kesultanan Banten, Arya Wangsakara menyebarkan Agama Islam di wilayah tersebut dengan membangun pondok-pesantren Grendeng, tepatnya berada di tepi barat sungai cisadane. Lambat laun pesantren Grendeng memiliki santri yang cukup banyak, namun hal ini menjadi ancama tersendiri bagi pemerintahan Hindia Belanda. Karena hal ini lah kolonial Belanda melakukan serangan militer secara brutal. Pesantren Grendeng pun hancur lebur, Arya wangsakara beserta pengikutnya dipaksa mengungsi ke Lengkong Pagedangan, ia kembali membangun pusat Pendidikan agama Islam, sekalipun itu akan membahayakan dirinya, akan tetapi Arya Wangsakara tidak pernah menyerah untuk terus menyebarkan ajaran agama Islam dan terus melawan kolonial Hindia Belanda.
Hasil dari pengalaman saat di pesantren Grendeng akhirnya Aria Wangsakara mengajak rakyat untuk melakukan perlawanan pada pihak penjajah. Hingga pertempuran berangsur-angsur panjang selama berbulan-bulan. Rakyat Tangerang saat itu tak ingin takluk untuk kedua kalinya oleh kolonial Belanda. Berbekal semangat perjuangan yang terus berkobar, akhirnya rakyat Tangerang berhasil memenangkan pertempuran tersebut sekaligus mempertahankan wilayah Tangerang dari serbuan kompeni yang beringas—walaupun telah menumpahkan banyak darah dan nyawa yang hilang.
Pertempuran tak hanya berakhir disitu. Ternyata kompeni terus berupaya melakukan penguasaan dan melancarkan penyerangan kembali ke daerah Tangerang. Siasat kompeni ternyata lebih cerdik dengan cara mengadu domba Kesultanan Banten—terkait batas wilayah kekuasaan.
Namun, lagi-lagi perlawanan tetap dilakukan oleh Aria Wangsakara dan kedua saudaranya. Berbekal semangat perjuangan melawan penindasan yang dilakukan kolonial Belanda, mereka bertempur habis-habisan—demi mempertahankan martabat rakyat Tangerang. Hingga akhirnya ketiga serangkai itu gugur dalam pertempuran. Aria Santika yang tewas dalam pertempuran di Kebon Besar 1717, Aria Yuda Negara atau Suryadiwangsa gugur di Cikokol pada tahun 1718 dan Aria Wangsakara gugur di Ciledug pada tahun 1720, dan akhirnya di tempatkan peristirahatan terakhirnya di lengkong kiai yang saat ini menjadi pusarannya. Mereka bertiga tewas demi mempertahankan wilayah Tangerang dari kekuasaan kompeni VOC. Akhirnya mereka tewas dalam goresan tinta emas di Tangerang.
Sebagai generasi penerus bangsa sudah sepatutnya kita bisa meneladani dan mensyukuri kemerdekaan dari kisah perjuangan sang pangeran Tangerang, yang gigih mempertahankan martabat rakyat Tangerang dari penindasan kolonial Belanda, selain itu kita pun harus juga meneladani tekad perjuangan menyebarkan ajaran agama Islam sampai akhir hayat. (Ahmadi)