Sejarah Kretek Bagi Kehormatan Bangsa Indonesia

Sejarah Kretek Bagi Kehormatan Bangsa Indonesia
Sumber: Smoking-room.net

BANTENICA.ID – Perhelatan sebuah acara a diplomatic reception, di London. Inggris Raya. Terlihat seorang tua dengan penampilan nyentrik nan-kharismatik yang sedang jadi buah bibir dalam pertemuan tingkat tinggi antar negara itu. Dengan santai ia menghisap satu buah rokok yang sedikit asing bagi orang-orang Eropa karena bau maupun tampilannya.

“This is the reason for which the west conquered  the world”, jawab pria bergaya perlente dengan peci hitam di kepalanya itu ketika orang asing bertanya mengenai benda apa yang sebetulnya tengah ia hisap. Orangtua nan kharismatik itu tidak bukan ialah Haji Agus Salim, seorang duta besar Indonesia untuk Inggris Raya. Ia membawa kretek yang notabene merupakan salah satu budaya dan warisan otentik bangsa Indonesia saat pertemuaan tingkat tinggi tersebut.

Napak Tilas Cengkeh dan Tembakau

Kutipan percakapan di atas menjadi kata sambutan yang dihaturkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam judul buku yang ditulis oleh Mark Hanusz, Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove. Dalam peristiwa langka itu, bisa dibayangkan tanpa segan Haji Agus Salim yang dijuluki the grand old man itu membawa kretek ke pertemuan tingkat tinggi, dengan bangga menghadirkan satu buah otentisitas tingkat tinggi hasil karya bangsanya.

Sejarah kretek bagi Bangsa Indonesia merupakan warisan nenek moyang yang memang menjadi nilai luhur bagi perkembangan ekonomi, sosial bahkan budaya bagi bangsa kita. Sekelumit kisah pilu pun hadir dalam sejarah itu.

Cengkeh dan tembakau merupakan satu komoditas unggulan bangsa Nusantara yang menjadi saksi kolonialisme ratusan tahun lamanya. Kejayaan komoditas rempah inipun sempat mengalami keruntuhan hingga akhirnya Kretek ditemukan.

Kretek sendiri merupakan salah satu jenis rokok yang berbeda dari rokok biasanya. Kretek merupakan rokok racikan yang di buat dari campuran tembakau asli dan seidkit cengkeh. Itulah mengapa Agus Salim mengatakan bahwa cengkeh menjadi salah satu alasan bagi bangsa Barat untuk menguasai dunia. Ini merupakan persoalan cengkeh, tembakau, lebih tepatnya rempah-rempah!

Di abad ke-15 cengkeh, pala dan lada (rempah-rempah) mulai menjadi rebutan dan incaran monopoli dagang bagi bangsa Eropa. Tanaman endemik kepulauan Maluku ini dicari sebagai bahan bumbu masak, bahan pengawet makanan hingga sebagai status sosial atau simbol kelas bagi orang-orang di Eropa.

Pedagang-pedagang dari Jazirah Arab lah yang memperkenalkan produk rempah-rempah ini ke Eropa. Mereka mencari hasil produksi rempah ini di India. Semenanjung Malaya hingga ke Maluku. Hal inilah yang melecut Bangsa Eropa untuk kemudian memonopoli perdagangan rempah-rempah, salah satunya cengkeh.

Tambakau agak belakangan masuk, ia diperkenalkan sekitar abad ke 17. Masuknya tembakau kemudian menyaingi kebiasaan nginang atau biasa kita kenal makan sirih dengan buah pinang di kalangan kelas menengah Jawa. Tanaman ini kemudian ditanam secara massal di Sumatara, menyusul kemudian komersial rokok pertama kali pada tahun 1850. Rokok saat itu masih berbungkus kertas dari kulit jagung atau seringkali dikenal dengan istilah Klobot. Dikutip dari buku “Kretek-Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota” Karya Mohammad Sobary.

Industri Penyelamat

Pencurian cengkeh untuk ditanam di Zanzibar. Prancis serta ditemukannya mesin pendingin (kulkas) di Eropa sekitar abad ke 19, menjadi era awal dari hilangnya pamor dan kedigdayaan cengkeh.

Namun tak perlu menunggu waktu yang lama untuk mengembalian kejaayaan cengkeh. Masa suram mulai terlihat cerah ketika seorang haji di Kudus, Jawa tengah menemukan satu manfaat lain dari cengkeh. Dalam buku The Sampoerna Legacy: A Family & Business History karya Gessler, disebutkan bahwa penemuan itu dimulai dari ketidak sengajaan.

Konon, Haji Djamhari dikatakan terkena penyakit asma. Ia kemudian mengoleskan minyak cengkeh ke bagian dadanya dan penyakitnya pun berangsur-angsur sembuh. Akhirnya ia pun mencoba racikan cengkeh dicampur dengan tembakau dan kemudian menghasilkan rokok kretek.

Itulah yang menjadi salah satu penemuan penting abad itu, Kretek: perpaduan antara tembakau kering dengan cengkeh dan saus. Racikan itulah yang menjadikan rokok Indoneia memiliki cita rasa yang khas daripada produksi rokok dari negara lain.

Tak ada keterangan yang bisa memastikan mengapa saat itu rokok kretek begitu cepatnya berkembang. Nitisemito lah salah satu pemeran kunci industri kretek yang paling laku saat itu Kudus. Di tahun 1925, merek dagangannya Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito mampu memplopori industri kretek hingga memiliki setidaknya 15.000 orang pekerja. Promosi yang gencar dan penggunaan teknologi dalam produksi kreteknya mampu membuatnya menjadi orang pribumi terkaya kala itu.

Kesuksesan industri itu pula yang memantik Pemerintah Hindia-Belanda untuk kemudian mem bandrol rokok keluaran Tjap Bal tiga dengan pajak sekitar tahun 1932. Namun Bal tiga tak mampu bertahan lama dalam industri ini. Pendudukan Jepang, persaingan ketat ditambah ketidakstabilan kondisi sosial-politik menjadikan merek ini berangsur-angsur menghilang.

Tahun 1950 mulai terlihat kemunculan industri kretek modern yang didirikan oleh beberapa peranakan Tionghoa-Indonesia lainnya. Oei Wei Gwan membangun pabrik Djarum di Kudus, Tjou Ing Hwie mendirikan pabrik Gudang Garam di Kediri. Keduanya kini kita kenal sebagai pemain besar di industri rokok nasional.

Pemerintahan Suharto akhirnya memulai era penanaman besar-besaran cengkeh sekitar tahun 1970. Hasil dari program ini kemudian baru terlihat di tahun 1990 saat produksi Cengkeh Indonesia melejit menjadi dua-pertiga penghasil Cengkeh dunia.

Pemerintah Kecanduan Rokok

Rokok sendiri memiliki tempat istimewa dalam pendapatan asli negara, tercatat cukai yang didapatkan dari tembakau selalu dominan dalam beberapa tahun. Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) 2017 misalnya, pemerintahan mematok target penerimaan pajak dari cukai rokok sebesar kurang lebih Rp. 149,9 triliun. Penerimaan ini naik 6 persen dari APBN 2016 dan jika ditotal dari keseluruhan pendapatan pajak 2017, maka cukai dari rokok setara dengan 10 persen target pendapatan pajak yang berjumlah Rp. 1.498 triliun.

Konsumsi ingin ditekan oleh pemerintah dengan cara menaikkan harga cukai rokok. Rancangan Undang-undang tentang pertembakaupun coba disusun oleh pemerintah. Walaupun sentimen dan perlawanan dari banyak pihak tentang rokok yang selalu menyerang aspek kesehatan, rokok kretek tetap mendapat tempat bagi konsumen Indonesia. Ia sebagai salah satu keunggulan bagi bangsa ini untuk tetap bertahan dari kerasnya persaingan komoditas unggulan dari beragam negara.

RUU pertambakauan juga coba disusun oleh DPR dan Pemerintah walaupun selama ini terdapat isu yang mengatakan bahwa RUU itu hanya untuk kepentingan industri rokok besar, namun merugikan petani tembakau dan industri rokok kecil.

Bila merujuk pada data yang dipaparkan komunitas kretek, masyarakat masih banyak yang menggantungkan hidup di sektor bahan baku kretek misalnya tembakau. Mereka yang hidup sebagai petani Tembakau setidaknya berjumlah sekitar 500 ribuan orang per 2015. Dikutip dari komunitaskretek.or.id

Artinya bila melihat jumlah dan besarnya sumbangsih kretek bagi negara maka, segala upaya untuk marginalisasi tembakau adalah tidak dibenarkan. Mengingat selain faktor kesehatan, dampak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat juga harus mendapat porsi yang seimbang dalam melihat persoalan ini.

Cengkeh dan tembakau merupakan keunggulan kompetitif bangsa ini sehingga harus betul-betul dilestarikan dan dikembangkan sebagai aset berkelanjutan. Suatu kehormatan besar bagi bangsa ini karena menjadi lahan subur penghasil komoditas unggulan di dunia. (Fairuz)

Tinggalkan Balasan